Jajanan Pasar, Warisan Kuliner yang Kian Terpinggirkan

Berbagai jajanan pasar seperti kue lapis, lemper, kue cucur, dan onde-onde tersusun dalam tampah bambu.

Di tengah gempuran makanan kekinian, nama-nama seperti klepon, kue putu, atau kue cucur mulai terdengar asing bagi sebagian generasi muda. Padahal, jajanan-jajanan itu bukan sekadar kudapan manis—mereka adalah bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya rasa dan makna. Artikel ini mengajak kita menyelami kembali dunia jajanan pasar yang mulai terpinggirkan, namun tetap punya tempat istimewa di hati banyak orang.


📜 Akar Tradisi dalam Tiap Gigitannya

Jajanan pasar bukanlah tren yang muncul karena viralitas sesaat. Mereka hadir jauh sebelum supermarket dan toko roti modern menjamur. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah akrab dengan berbagai penganan tradisional yang disajikan dalam acara adat, kenduri, pernikahan, hingga syukuran. Misalnya:

Lemper isi ayam dibungkus daun pisang, disajikan di atas piring putih dengan suasana tradisional.

  • Lempersimbol kesederhanaan dan eratnya hubungan antar keluarga.
Kue mendut hijau berisi unti kelapa, dibungkus daun pisang dan disajikan dalam bakul bambu.
  • Kue Mendutsering disajikan dalam selamatan sebagai lambang harapan baik.
Klepon hijau dengan taburan kelapa parut disajikan dalam wadah bambu dengan daun pisang.
  • Kleponmanis di dalam, sederhana di luar, mencerminkan filosofi hidup masyarakat Jawa.

Jajanan-jajanan ini juga mencerminkan karakter lokal melalui bahan dan teknik pembuatannya. Sebagian besar menggunakan bahan alami seperti santan, kelapa parut, gula merah, daun pandan, dan daun pisang sebagai pembungkus—menjadikannya juga ramah lingkungan.


🛍️ Dari Pasar Tradisional ke Sudut Ingatan

Ilustrasi pasar tradisional Indonesia dengan pedagang dan pembeli yang bertransaksi jajanan pasar.

Dulu, setiap pagi atau sore, pasar tradisional menjadi tempat utama untuk mencari jajanan. Penjual akan menata dengan rapi aneka penganan di atas tampah beralas daun, lengkap dengan senyuman ramah dan harga yang terjangkau. Kini, pemandangan itu mulai jarang terlihat.

Dengan gaya hidup yang semakin cepat dan preferensi anak muda yang lebih dekat dengan makanan modern seperti donat, brownies, bubble tea, dan pastry ala Barat, jajanan pasar perlahan tergeser. Bahkan tak sedikit yang tidak tahu bedanya antara kue bugis, kue pisang ijo, dan kue talam.


⏳ Antara Kepunahan dan Harapan

Yang membuat miris, banyak penjual jajanan pasar adalah ibu-ibu atau nenek-nenek yang sudah lanjut usia, dengan resep yang diwariskan secara lisan tanpa dokumentasi. Jika tidak ada generasi penerus, bukan tidak mungkin banyak jajanan khas daerah akan menghilang begitu saja.

Namun, ada pula secercah harapan. Kini, beberapa komunitas dan penggiat kuliner mulai mengambil peran. Misalnya:

  • Workshop jajanan pasar yang mengajarkan cara membuat kue tradisional ke generasi muda.
  • UMKM kreatif yang membuat kemasan modern agar menarik di e-commerce atau media sosial.
  • Content creator kuliner yang mengangkat cerita di balik makanan tradisional ke platform seperti TikTok dan Instagram.

Tak hanya itu, kini mulai bermunculan kafe dan toko kue modern yang menyisipkan jajanan pasar ke dalam menunya, bahkan mengkombinasikannya dengan rasa baru agar lebih relevan dengan selera masa kini.


Baca Juga: Makanan yang Berasal dari Kesalahan, tapi Malah Jadi Populer


🧠 Lebih dari Sekadar Makanan

Kue cucur tradisional berwarna cokelat keemasan disajikan di atas daun pisang.

Jajanan pasar bukan hanya enak disantap, tapi juga kaya nilai. Setiap kue memiliki cerita: entah sebagai bagian dari prosesi adat, simbol doa dan harapan, atau sekadar pengikat nostalgia masa kecil. Menghidupkan kembali jajanan pasar berarti juga merawat ingatan kolektif dan identitas budaya.

Di era digital ini, kita tak harus memilih antara yang modern atau tradisional. Keduanya bisa berdampingan. Yang penting, kita tidak melupakan akar budaya kita sendiri.


📌 Penutup: Mari Lestarikan, Selagi Masih Ada

Menjaga eksistensi jajanan pasar bukan tugas pemerintah atau pelaku usaha saja. Kita semua bisa ambil bagian—dengan membeli, mengenalkan ke generasi muda, bahkan sekadar membagikan cerita atau foto jajanan favorit kita.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya:

Kalau bukan kita yang mencintai jajanan pasar, siapa lagi?

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.